Minggu, 02 Agustus 2015

SEJARAH KABUPATEN CIAMIS

Kabupaten Ciamis, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu kotanya adalah Ciamis Kota. Kabupaten ini berada di bagian tenggara Jawa Barat, berb
atasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di utara, Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan Kota Banjar di timur, Kabupaten Pangandaran dan Samudera Hindia di selatan, serta Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di barat.
Kabupaten Ciamis terdiri atas 30 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Ciamis. Kecamatan Banjar, yang dulunya bagian dari Kabupaten Ciamis, ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif, dan sejak tanggal 11 Desember 2002 ditetapkan menjadi kota (otonom), yang terpisah dari Kabupaten Ciamis. selain itu bagian Selatan Kabupaten Ciamis mengalami pemekaran pada tanggal 25 Oktober 2012 menjadi Kabupaten Pangandaran yang memiliki 10 Kecamatan.


Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis memiliki perjalanan sejarah sangat panjang. Hal itu terbukti dari periodisasi yang dilewatinya, yaitu masa pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 – abad ke-16), masa kekuasaan Mataram, kekuasaan Kompeni, dan Belanda/Hindia Belanda (akhir abad ke-16 – awal tahun 1942), masa pendudukan Jepang (awal tahun 1942 – 15 Agustus 1945), dan masa kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan sejarah Galuh yang panjang itu sampai sekarang masih belum terungkap secara komprehensip, bahkan beberapa bagian/episode sejarah Galuh masih “gelap”. Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan) Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya W.J Van der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata "sakaloh" berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas menjadi "segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan sejenis batu permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja (yang sedang memerintah) dan belum menikah.

Sebagaimana riwayat kota-kabupaten lain di Jawa Barat, sumber-sumber yang menceritakan asal usul suatu daerah pada umumnya tergolong historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur mitos, dongeng atau legenda disamping unsur yang bersifat historis. Naskah-naskah ini antara lain Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah Galuh, dan juga naskah Sejarah Galuh bareng Galunggung, Ciung Wanara, Carita Waruga Guru, Sajarah Bogor. Naskah-naskah ini umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Adapula naskah-naskah yang sezaman atau lebih mendekati zaman Kerajaan Galuh. Naskah-naskah tersebut, diantaranya Sanghyang Siksakanda ‘Ng Karesian, ditulis tahun 1518, ketika Kerajaan Sunda masih ada dan Carita Parahyangan, ditulis tahun 1580.

Berdirinya Galuh sebagai kerajaan, menurut naskah-naskah kelompok pertama tidak terlepas dari tokoh Ratu Galuh sebagai Ratu Pertama. Dalam laporan yang ditulis Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat berbagai nama kerajaan sebagai berikut: Kerajaan Galuh Sindula (menurut sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?); Kerajaan Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan; Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman; Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan; Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo; Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan; Galuh Pakuan beribukota di Kawali; Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan; Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah beribukota Pataka; Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam beribukota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung; Kabupaten Galuh Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara dan Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis (sejak tahun 1812).

Untuk penelitian secara historis, kapan Kerajaan Galuh didirikan, dapat dilacak dari sumber-sumber sezaman berupa prasasti. Ada prasasti yang memuat nama "Galuh", meskipun nama tanpa disertai penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja Balitung disebut sebagai "Rakai Galuh". Dalam Prasasti Siman berangka tahun 943, disebutkan bahwa "kadatwan rahyangta I mdang I bhumi mataram ingwatu galuh". Kemudian dalam sebuah Piagam Calcutta disebutkan bahwa para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan Barat, mereka dimusnahkan pada tahun 1031 Masehi. Dalam beberapa prasasti di Jawa Timur dan dalam Kitab Pararaton (diperkirakan ditulis pada abad ke-15), disebutkan sebuah tempat bernama "Hujung Galuh" yang terletak di tepi sungai Brantas. Nama Galuh sebagai ibukota disebut berkali-kali dalam naskah sebuah prasasti berangka tahun 732, ditemukan di halaman Percandian Gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang).

Pada bagian carita Parahyangan, disebutkan bahwa Prabu Maharaja berkedudukan di Kawali. Setelah menjadi raja selama tujuh tahun, pergi ke Jawa terjadilah perang di Majapahit. Dari sumber lain diketahui bahwa Prabu Hayam Wuruk, yang baru naik tahta pada tahun 1350, meminta Puteri Prabu Maharaja untuk menjadi isterinya. Hanya saja, konon, Patih Gajah Mada menghendaki Puteri itu menjadi upeti. Raja Sunda tidak menerima sikap arogan Majapahit ini dan memilih berperang hingga gugur dalam peperangan di Bubat. Puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana waktu itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis serta Kebantenan.

Pada tahun 1595, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Invasi Mataram ke Galuh semakin diperkuat pada masa Sultan Agung. Penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dan cacah sebanyak 960 orang. Ketika Mataram merencanakan serangan terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628, massa Mataram di Priangan bersilang pendapat. Rangga Gempol I dari Sumedang misalnya, menginginkan pertahanan diperkuat dahulu, sedangkan Dipati Ukur dari Tatar Ukur, menginginkan serangan segera dilakukan. Pertentangan terjadi juga di Galuh antara Adipati Panaekan dengan adik iparnya Dipati Kertabumi, Bupati di Bojonglopang, anak Prabu Dimuntur keturunan Geusan Ulun dari Sumedang. Dalam perselisihan tersebut Adipati Panaekan terbunuh tahun 1625. Ia kemudian diganti puteranya Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam sekarang).

Pada masa Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calingcing. Tetapi tidak lama kemudian dipindahkan ke Bendanagara (Panyingkiran). Pada Tahun 1693, Bupati Sutadinata diangkat VOC sebagai Bupati Galuh menggantikan Angganaya. Pada tahun 1706, ia digantikan pula oleh Kusumadinata I (1706-1727).

Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan R.A.A. Kusumadiningrat menjadi Bupati Galuh, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya melaksanakan tanam paksa. Rakyat yang ada di Wilayah Galuh, disamping dipaksa menanam kopi juga menanam nila. Untuk meringankan beban yang harus ditanggung rakyat, R.A.A. Kusumadiningrat yang dikenal sebagai "Kangjeng Perbu" oleh rakyatnya, membangun saluran air dan dam-dam untuk mengairi daerah pesawahan. Sejak Tahun 1853, Kangjeng Perbu tinggal di kediaman yang dinamai Keraton Selagangga. Antara tahun 1859-1877, dilakukan pembangunan gedung di ibu kota kabupaten. Disamping itu perhatiannya terhadap pendidikan pun sangat besar pula. Kangjeng Perbu memerintah hingga tahun 1886, dan jabatannya diwariskan kepada puteranya yaitu Raden Adipati Aria Kusumasubrata. Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan ke Keresidenan Priangan, dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis.

Selain itu, sejarah Galuh masa kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos atau legenda, sehingga Cerita tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat beberapa versi.

Belum adanya penulisan sejarah Galuh yang komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Pemda Kabupaten Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap sejarah daerahnya sendiri. Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat untuk mengungkap sejarah Galuh, antara lain karena kegiatan itu memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan meneliti sumbernya. Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi uraiannya hanya berupa garis besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.


Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya memiliki fungsi pragmatik, khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah adalah suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini adalah hasil kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan tergantung dari sikap kita dalam mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh sebab itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena sejarah adalah “obor kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.
Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila Pemda Kabupaten Ciamis dan “Wargi Galuh” menaruh perhatian terhadap sejarah Galuh, antara lain agar kita benar-benar memahami bagaimana jati diri putera Galuh.

1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh
“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras. Pengertian mana yang tepat dari kata “galuh” untuk daerah yang sekarang bernama Ciamis? Hal itu memerlukan kajian secara khusus dan mendalam.

2. Galuh Masa Kerajaan
Galuh memang pernah menjadi sebuah kerajaan. Akan tetapi Cerita tentang Kerajaan Galuh, terutama pada bagian awal, penuh dengan mitos. Hal itu disebabkan Cerita itu berasal dari sumber sekunder berupa naskah yang ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap. Misalnya, Wawacan Sajarah Galuh antara lain menCeritakan bahwa Kerajaan Galuh berlokasi di Lakbok dan pertama kali diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah banjir besar yang dialami oleh Nabi Nuh surut, pusat Kerajaan Galuh pindah ke Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti menjadi Bojonggaluh. Dikisahkan pula putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara berselisih dengan saudaranya Hariang Banga. Perselisihan itu berakhir dengan permufakatan, bahwa kekuasaan atas Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung Wanara berkuasa di Pajajaran dan Hariang Banga menguasasi Majapahit. Selama belum ada sumber atau fakta kuat yang mendukungnya, kisah seperti itu adalah mitos (Bagi guru sejarah, Cerita yang bersifat mitos boleh-boleh saja disampaikan kepada para siswa, dengan catatan harus benar-benar ditegaskan, bahwa Cerita itu adalah mitos yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan).

Cerita tentang Kerajaan Galuh yang dapat dipercaya adalah berita dalam sumber primer berupa prasasti, naskah sejaman (ditulis pada jamannya atau tidak jauh dari peristiwa yang diCeritakannya), dan sumber lain yang akurat. Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai nama satu daerah di Jawa Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula menjadi bagian nama atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh (Purbalingga), Rajagaluh (Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur (Bumiayu), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Hujung (Ujung) Galuh di Jawa Timur) muncul dalam panggung sejarah pada abad ke-8. Setelah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di daerah Jawa Barat berdiri Kerajaan Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor (± abad ke-11 s.d abad ke-13), kemudian pindah lagi ke Kawali (abad ke-14). Selanjutnya kerajaan itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.


Nama kerajaan seringkali berubah dengan sebutan nama ibukotanya. Oleh karena itu, tidak heran bila ketika Kerajaan Sunda beribukota di Galuh, kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga pusat/daerah inti Galuh waktu itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal yang berkuasa di Galuh adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali (abad ke-14) diperintah oleh Prabu Maharaja (di kalangan masyarakat setempat, raja ini dikenal dengan nama Maharaja Kawali). Pada masa pemerintahan raja itulah agama Islam masuk ke Kawali dari Cirebon antara tahun 1528-1530.
Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Nusiya Mulya (paruh kedua abad ke-16), eksistensi kerajaan itu berakhir akibat gerakan kekuatan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan agama Islam. Peristiwa itu terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu Pakuan Pajajaran berada di bawah kekuasaan Banten.

Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran berakhir, Galuh berdiri sendiri sebagai ke-rajaan merdeka (1579/1580 – 1595). Sementara itu, berdiri pula Kerajaan Sumedang Larang (± 1580-1620) dengan ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu (Maharaja) Cipta Sanghiang di Galuh, putera Prabu Haurkuning. Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah barat, Sungai Cijulang batas sebelah selatan, dan Sungai Citanduy batas sebelah timur. Perlu disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan yang sekarang masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh. Di tempat-tempat tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang berbahasa Sunda.

3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram
Di bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah di Priangan yang semula berstatus kerajaan berubah menjadi kabupaten. Galuh berada di bawah kekuasaan Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh pertama kali jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya alias Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan ke dalam wilayah administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Ujang Ngekel bergelar Prabu Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan di Garatengah (daerah sekitar Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta Permana yang telah masuk Islam (semula beragama Hindu) menikah dengan puteri Maharaja Kawali bernama Tanduran di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh terdapat pusat-pusat kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan sebagai bupati dalam arti raja kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain Cibatu, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan Imbanagara.

Mataram menguasai Galuh kemudian Sumedang Larang (1620) dalam usaha menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian barat dalam menghadapi kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak ketika Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh Adipati Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh CiptaPermana, selaku Bupati Wedana. Penguasaan Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang sifatnya berbeda. Galuh dikuasai oleh Mataram melalui cara kekerasan, karena pihak Galuh melakukan perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang jatuh ke bawah kekuasaan Mataram karena berserah diri, antara lain karena adanya hubungan keluarga antara Raden Aria Suriadiwangsa penguasa Sumdang Larang dengan penguasa Mataram.

Tahun 1628 Mataram merencanakan penyerangan terhadap Kompeni di Batavia dan meminta bantuan para kepala daerah di Priangan. Ternyata rencana itu me-nimbulkan perbedaan pendapat yang berujung menjadi perselisihan di antara para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati Panaekan berselisih dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati Bojonglopang, putera Prabu Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati Panaekan terbunuh (1625). Ia digantikan oleh puteranya bernama Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam). Pada masa pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calincing. Tidak lama kemudian pindah lagi ke Bendanegara (Panyingkiran).

Ketika pasukan Mataram menyerang Batavia (1628), kepala daerah di Priangan memberikan bantuan. Pasukan Galuh dipimpin oleh Bagus Sutapura, pasukan Priangan dipimpin oleh Dipati Ukur, Bupati Wedana Priangan. Dipati Ukur memang mendapat tugas khusus dari Sultan Agung untuk mengusir Kompeni dari Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia memberontak terhadap Mataram.

Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.) (daerah antara Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah Kawasen sampai dengan 1653, kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung Sutanangga (1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

Pertengahan tahun 1642 Adipati Jayanagara memindahkan lagi ibukota Kabupaten Galuh ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Pemindahan ibukota kabupaten yang terjadi tanggal 14 Mulud tahun He (12 Juni 1642—Sejak tahun 1970-an, Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada akhir tulisan ini). itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, Garatengah dan Bendanegara memberi kenangan buruk dengan ter-bunuhnya Adipati Panaekan dan Dipati Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih cocok menjadi pusat pemerintahan dan akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara yang berlangsung selama 42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah kekuasaan lain, yaitu Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan. Semua daerah itu menjadi wilayah Kabupaten Galuh. Dengan demikian, Kabupaten Galuh memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu dari Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy sampai perbatasan Sukapura.


Setelah Adipati Jayanagara meninggal, kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh Anggapraja. Akan tetapi tidak lama kemudian jabatan itu diserahkan kepada adiknya bernama Angganaya. Sementara itu, daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang, dikepalai oleh Wirabaya. Dipati Kertabumi yang semula memerintah Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang dan menjadi cikal-bakal bupati Karawang.

Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal, Amangkurat I putera Sultan Agung kembali melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa daerah ajeg (setarap kabupaten), antara lain Sumedang, Bandung, Parakan-muncang, Sukapura, Imbanagara, Kawasen, Galuh, dan Banjar.

4. Galuh di bawah kekuasaan Kompeni (VOC/Verenigde Oost-Indische Compagnie, yaitu Perkumpulan Perseroan Belanda di Hindia Timur)
Akhir tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari wilayah Priangan timur diserahkan oleh penguasa Mataram kepada Kompeni melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni lebih dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah Priangan memberlakukan penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam sistem yang disebut Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan kepada Kompeni sebagai upah membantu mengatasi kemelut perebutan tahta Mataram—kompeni membantu Pangeran Puger dalam usaha merebut tahta Mataram dari keponakannya, yaitu Amangkurat III alias Sunan Mas). Namun demikian, Galuh dan daerah Priangan timur lainnya tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.

Sebelum terjadinya perjanjian 5 Oktober 1705, Kompeni sudah mengangkat Sutadinata menjadi Bupati Galuh (1693-1706) menggantikan Angganaya yang meninggal. Ia kemudian diganti oleh Kusumadinata I (1706-1727). Waktu itu Priangan berada di bawah pengawasan langsung Pangeran Aria Cirebon sebagai wakil Kompeni.

Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen Sutanangga diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap orang ningrat tertua dan terpandai di Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.
Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata II (1727-1732). Oleh karena ia tidak memiliki putera, maka setelah ia meninggal kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Mas Garuda, sekalipun keponakannya itu belum dewasa. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan oleh tiga orang wali, seorang di antaranya adalah ayah Mas Garuda sendiri, yaitu Raden Jayabaya Patih Imbanagara. Mas Garuda baru memegang pemerintahan sendiri mulai tahun 1751 hingga tahun 1801, dengan gelar Kusumadinata III. Ia digantikan oleh Raden Adipati Natadikusuma (1801-1806).


Pada masa peralihan kekuasaan dari Kompeni kepada Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Imbanagara dihapuskan. Daerah itu digabungkan dengan Galuh dan Utama. Ketiga daerah itu diperintah oleh Bupati Galuh. Menurut sumber tradisional (Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa itu terjadi akibat konflik antara Raden Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat VOC yang bersikap dan bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di Cirebon. Kedudukannya sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811).
Di bawah kekuasaan Kompeni, sistem pemerintahan tradisional yang dilakukan para bupati pada dasarnya tidak diganggu. Hal itu berlangsung pula pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1808-1942).


5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni berakhir akibat VOC bangkrut. Kekuasaan di Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.

Pada akhir masa pemerintahan Daendels, Bupati Imbanagara Surapraja meninggal (1811). Bupati Imbanagara selanjutnya dijabat oleh Jayengpati Kertanegara, merangkap sebagai Bupati Cibatu (Ciamis). Setelah pensiun, ia digantikan oleh Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah Pangeran Sutajaya asal Cirebon. Oleh karena selalu berselisih paham dengan patihnya, Pangeran Sutajaya kembali ke Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali dipegang oleh putera Galuh, yaitu Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815 Bupati Wiradikusuma memindahkan ibukota kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.

Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah (1819-1839), putera Bupati Wiradikusuma, Kawali dan Panjalu dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Galuh. Bupati Adipati Adikusumah menikah dengan puteri Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan itu kemudian lahir seorang anak laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian menggantikan ayahnya menjadi Bupati Galuh (1839-1886) dengan gelar Tumenggung Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti nama menjadi Raden Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka yang dikenal dengan julukan “Kangjeng Prebu”.


Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A. Kusumadiningrat tinggal di Keraton Sela-gangga yang dilengkapi oleh sebuah masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872 di halaman keraton dibangun tempat pemandian yang disebut Jambansari—Pemandian itu sering digunakan oleh warga masyarakat dengan maksud “ngalap berkah” dari “Kangjeng Prebu”). Antara tahun 1859-1877, dibangun beberapa gedung di pusat kota kabupaten (Ciamis). Gedung-gedung dimaksud adalah gedung kabupaten yang cukup megah (di lokasi Gedung DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (gedung kabupaten sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon, rumah kontrolir, dan lain-lain.


Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat besar jasanya dalam memajukan ke-hidupan rakyat Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu antara lain membuat sejumlah irigasi, membuka sawah beribu-ribu bau, mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuka perkebunan kelapa, membangun jalan antara Kawali – Panjalu, mendirikan “Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di Kawali (1876). Atas jasa-jasa tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau atribut kebesaran dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Songsong Kuning (payung kebesaran berwarna kuning mas) tahun 1874) dan bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).

Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan kepada puteranya, yaitu R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Pada masa pemerintahan bupati ini, mulai tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api jalur Bandung – Cilacap.via Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Bupati R.T.A. Sastrawinata (1914-1935), Kabupaten Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon dan masuk ke dalam wilayah Keresidenan Priangan (tahun 1915). Nama Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke dalam Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Tasikmalaya dan Garut, dengan ibukota afdeeling di kota Tasikmalaya.

6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis
Telah dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Adipati Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud tahun He atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642 dipilih dan ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Alasan atau dasar pertimbangannya adalah kepindahan ibukota kabupaten itu membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak itulah Kabupaten Galuh mulai menunjukkan perkembangan yang berarti.

Tepatkah pemilihan tanggal tersebut? Bila dikaji secara objektif dan kritis, menurut penulis, pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat. Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal tersebut akan mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri. Kedua, Kabupaten Galuh berubah namanya menjadi Kabupaten Ciamis terjadi pada dekade kedua abad ke-20 (1915), setelah Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon.


Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Menurut penulis, hari jadi Kabupaten Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya kabupaten itu, atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.


Nanang Abdul Aziz, S.Pd

Facebook : Naa Negarawan
Twitter : @nanang_a_aziz
ID Line & Ig : _naa____


Rabu, 19 November 2014

LAGU CIAMIS


MAHAYUNA AYUNA KADATUAN


Pakena gawe rahayu

Pakeun hebeul jaya di buana

Ciamis natar udagan

mapag mangsa datang

Nanjung tur gumilang

Maha yuna kadatuan

Kiwari ngancik bihari

Ayeuna sampereun jaga

Geusan maha yuna ayuna kadatuan

Ciamis manjing manisna

Ciamis manjing dinamis

Panghareupan pangwangunan

Kukuh ajeug pribadi raharja lemah cai

Ciamis Manis

Manis Bukan Sembarang Manis

Manisnya Ciamis

Tatar Galuh Parahiangan

Permata Pasundan

Manis Bukan Sembarang Manis


Menawan Asri Nyaman Indah Sehat


Ciamis Manis Manjing Dinmis


Mahayuna Ayuna Kadatuan


Nanang Abdul Aziz, S.Pd
Facebook : Naa Negarawan
Twitter : @nanang_a_aziz
ID Line & Ig : _naa____